Masyarakat dan kebudayaan adalah dua konsep yang berbeda tetapi satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ada masyarakat ada kebudayaan.Keduanya saling berkaitan dan penting dalam kehidupan bernegara. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat tanpa kebudayaan dan sebaliknya. Dengan kata lain, kebudayaan tidak pernah ada tanpa masyarakat pendukungnya. Fungsi kebudayaan dalam sebuah masyarakat adalah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku (Suparlan, 1995). Ini artinya, fungsi kebudayaan dalam suatu masyarakat sangat penting (vital). Oleh karena itu, betapun sederhananya suatu masyarakat pasti akan menumbuh-kembangkannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan, antara lain: geografis dan kesejarahan. Keadaan geografis dan kesejarahan yang berbeda pada gilirannya akan membuahkan kebudayaan yang berbeda. Padahal, kondisi geografis dan kesejarahan masyarakat kita (Indonesia) berbeda-beda. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat masyarakat Indonesia bersifat majemuk (Boedhisantoso, 1998). Kemajemukan itu, tidak hanya ditandai oleh adanya berbagai macam agama dan adat-istiadat, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan budaya yang berberda. Budaya yang ditumbuh-kembangkan oleh orang Jawa berbeda dengan orang Minangkabau, berbeda dengan orang Batak, dan seterusnya. Melalatoa (1995) menyebutkan bahwa di Indonesia sedikitnya ada 500 sukubangsa.
Wujud kebudayaan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni: tangible (kebendaan) dan intangible (non-benda). Sesuai dengan judul makalah ini, maka yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah wujud kebudayaan yang bersifat intangible (wujud budaya yang ideal), yaitu nilai-nilai, khususnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Wujud ini sifatnya abstrak. Ia ada di benak setiap orang’ Oleh karena tidak dapat diraba dan atau difoto. Ia baru kelihatan manakala diekspresikan atau diwujudkan dalam bentuk aktivitas (tingkah laku). Oleh karena itu, Koentjaraningrat (1985) membagi wujud kebudayaan ada tiga, yaitu wujud: ideal (sistem nilai), aktivitas (sistem sosial), dan kebendaan (materi).
Nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai luhur1 kepada kita semua. Nilai-nilai itu antara lain: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan. Namun dewasa ini, ada kecenderungan nilai-nilai tersebut tidak atau belum diamalkan sebagaimana mestinya, sehingga kehidupan dalam bermasyarakat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan (tata tentrem kerta raharja). Bahkan, ada kecenderungan “dibaikan”. Hal itu antara lain tercermin dari adanya tawuran pelajar antarsekolah di berbagai tempat, terutama di ibukota.
Masyarakat Indonesia adalah majemuk. Kemajemukan itu antara lain tidak hanya ditandai oleh adanya agama yang berbeda, tetapi juga sukubangsa yang satu dengan lainnya mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya dalam masyarakat majemuk di dalamnya terdapat kebudayaan yang majemuk, yaitu: kebudayaan daerah (lokal), umum lokal, dan nasional yang penggunaannya bergantung pada suasana-suananya. Dalam suasana keluarga atau adat misalnya, acuan yang digunakan adalah budaya daerah. Kemudian, dalam suasana umum (tempat-tempat umum) acuan yang digunakan adalah budaya umum lokal. Dan, dalam suasana-suasana resmi acuan yang digunakan adalah kebudayaan nasional.
Mengingat fungsi kebudayaan adalah sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, maka setiap sukubangsa pasti akan mengembangkan nilai-nilai yang kemudian dijadikan sebagai acuan berintekraksi dengan sesamanya. Nilai yang dikembangkan oleh suatu masyarakat bisa saja tidak sesuai dengan masyarakat lainnya. Misalnya, “meminta” pada masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang “tabu”, tetapi pada masyarakat Batak hal itu tidak menjadi masalah karena mereka mempunyai ungkapan “Kalau tidak diminta tidak akan dikasih”. Meskipun demikian ada nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat sukubangsa dianggap baik pula oleh masyarakat sukubangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang multietnik dan sekaligus multikultural itu sering disebut sebagai nilai-nilai luhur (adiluhung). Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan.
Setiap komunitas atau masyarakat, baik yang masih diupayakan untuk berkembang (masyarakar terasing) maupun yang sudah maju, baik masyarakat bangsa maupun masyarakat negara, pada dasarnya menghendaki suasana kehidupan yang, selaras, serasi, dan harmonis (tata tentrem kerta raharja), serta adil dan makmur (bukannya suasana kehidupan yang meresahkan). Untuk itu, perlu dikembangkan nilai-nilai luhur yang dapat mendukungnya. Nilai-nilai itu, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah: kegotong-royongan (kebersamaan), persatuan dan persatuan, saling-monghormati, kesantunan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, dan keramah-tamahan. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat yang menghendaki kehidupan bersama yang tata tentrem kerta raharjo tanpa mengacu kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Oleh karena itu, walaupun arus globalisasi di segala bidang kehidupan tidak bisa kita hindari. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat (berbangsa dan bernegara) kita mestinya tetap berpegang pada nilai-nilai budaya bangsa. Untuk itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu ditanam-manfaatkan (dikenalkan, dihayati, dan diamalkan), tidak hanya oleh generasi muda tetapi juga generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, di samping persatuan dan kesatuan kita tetap terjaga, kebudayaan kita tumbuh-kembangkan tidak lepas dari akarnya. Dalam konteks ini bangsa Indonesia maju, dapat berperan aktif dalam globalisasi, tetapi tetap berkepribadian bangsa Indonesia.
sumber:http://www.facebook.com/topic.php?uid=482967400272&topic=14683
Tidak ada komentar:
Posting Komentar